Hari ini matahari lagi semangat-semangatnya bekerja. Teriknya sedang percaya dirinya. Panasnya bukan main-main, ternyata matahari memang serius. Semangatnya hari ini, berbanding terbalik dengan keresahanku hari ini. Menyusuri jalan dengan kondisi hati seperti ini sungguh menganggu. Panas yang tidak mengenakkan.
Lampu merah ini terlalu lama, gerutuku dalam hati. Selain karena tidak kuat dengan panas, aku harus buru-buru. Ini semua karena kebiasaan buruk dalam manajemen waktu tidur. Aku terlambat bangun padahal aku sendiri yang mengajukan pertemuan ini.
Ini pertemuan sekian kalinya dengan seseorang yang telah mengisi hari-hariku. Sayangnya pertemuan kali ini yang biasanya selalu disebut kencan, bukanlah kencan lagi. Cukup pertemuan. Karena bukan untuk bersenang-senang atau untuk mengumbar rasa apalag melepas rindu. Pembicaraan yang ada akan serius. Dan aku bingung, tidak karuan rasanya, hatiku terus berdetak kencang seperti pertemuan pertama. Tapi kali ini bukan tentang bagaimana pandangan pertamanya atau bagaimana penampilanku hari ini.
"Hai, dah lama nunggu?"
"Lama sih, tapi rasanya sebentar juga. Terbiasa."
"hahahaha, ya maaf"
"Gimana kabar?"
Siang ini, dia masih sama. Kami berngalor ngidul selama setengah jam. Penampilannya masih selalu sama, selalu membuatku kagum. Cerewetnya masih sama saat dia menceritakan harinya. Semua seperti mimpi dan aku masih tidak ingin bangun, tapi tidak ingin bukan bearti harus menutup mata. Tapi aku juga masih bingung bagaimana cara memulainya, akhirnya aku memutuskan melihat handphone begitupun dia.
"Lalu, kita bagaimana?"
"Kita emang kenapa?", tanyanya dengan bingung. Sembari main handphone. Mungkin dianggapnya gombalan cengeng yang selalu aku beri.
"Iya, rasanya ada yang beda. Akhir-akhir ini ada yang mengganjal."
"Perasaanmu saja?"
"Aku sudah bersamamu terlalu lama. Rasanya ada yang berubah dan aku menyadarinya"
"Apa itu?", kali ini handphonenya ditaruh di meja. Matanya tertuju pada mataku. Pandangannya seakan dia bingung, namun dia tahu ada yang harus diberitahu.
"Aku tidak tahu. Bagaimana aku tebak, laki-laki lain?"
"tidak..."
"Bosan?"
Setelah kata itu keluar. Dia terdiam. Minuman yang dipegang, hanya dimain-mainkan saja dengan sendok. Aku pun juga terdiam. Aku tahu akan begini. Aku bisa saja memilih hidup dalam mimpi. Tapi aku tidak tega membiarkan dia membuat mimpiku sedangkan aku bukanlah mimpinya lagi.
"Kalau iya, kenapa ga pernah bilang?"
"Aku takut"
"Lalu apakah bohong adalah jalannya?"
"Aku bingung"
"Sejak kapan?"
"desember, november, entahlah aku bingung"
"Aku senang denganmu, aku senang hidup dalam bohongmu. Bohongmu memang dosamu, tapi pikirkan lah aku yang terlalu girang hidup dalam bohongmu"
"Maaf"
"tidak apa, aku justru berterimakasih. Kamu masih mau berbohong untukku, setidaknya aku bahagia. Terima kasih atas semuanya dan sampai jumpa lagi, sayang."
------------------------------------------------------------------------------------------
Dititik ini, aku sendiri bingung. Aku dibohongi dan hidup didalamnya. Terlalu aman dan nyaman, tentu senang. Aku membohongi diriku sendiri, bahwa tidak ada bohong yang terjadi. Cinta memang aneh.
Perpisahan memang menyedihkan, namun selalu ada waktunya untuk bangun dari mimpi dan menghadapi realit, tapi ya aku senang..
Komentar
Posting Komentar